Puyuh Panggang Sapitan: Kenapa Alot Ya Rasanya?
Lini bisnis daging puyuh goreng dan bakar mungkin sudah sangat familiar ditelinga kita. Bahkan, mungkin kita juga salah satu maniaknya. Tekstur daging yang empuk bercampur dengan bumbu unkep rempah khas masakan indonesia, akan menambah ajibb jika kita bisa benar mengolahnya. Nggak percaya, silahkan saja order puyuh ungkep Puyuh Queen saya (ecie, promosi ni yee...)
Jika dibandingkan dengan skala produksi, lini bisnis pasca produksi aneka olahan makanan berbahan dasar puyuh masih sangat jarang sekali. Dari prosentasi peternak 1000 orang, mungkin hanya sekitar sekitar 100 orang yang kemudian mau membisniskannya. Padahal, jika produksi telur dan daging puyuh yang semakin tahun semakin banyak itu tidak diimbangi dengan penanganan pasca produksi, pada puncak siklusnya pasti akan anjlog lagi.
Pada Artikel kali ini Dunia Puyuh akan mencoba membahas salah satu kuliner yang mungkin masih jarang ditemui di tempat anda. Yaitu puyuh panggang sapitan.
But, nowaday we can not speaking about scales and grapichs (Kleleken telur puyuh perancis iki), tapi kali ini kita akan bicara seputar salah satu kuliner daging puyuh. Yup, puyuh panggang orang menyebutnya. Sebagian bangsa lain seperti bangsa wonodadian dan srengatan mengatakan sebagai puyuh sapitan. Whatever lah ya, pokok’e intine puyuh disunduk, trus dibakar tanpa bumbu. Itu...(mario tangguh #mode on).
Tempo hari ada yang bertanya:
“mas aku tuku puyuh sapitan disana, sebut saja nama penjualnya bunga(nama sampiran). Kok teko omah tak masak rasane alot ya? Dicokot malah ganti nyokot (diggit malah gigit balik). Nyapo yo?”
Baiklah, kawan-kawanku yang baik hatinya (Marione kumat maneh), ketahuilah, bahwa ketika puyuh itu dipanggang, padahal secara tekstur doi adalah puyuh afkiran, maka tingkat kealotannya tidak malah berkurang, tapi malah menjadi-jadi.
Couse what? Karena ketika dipanggang, jussy dari puyuh tersebut hilang menguap sebanding dengan panas api yang digunakan?
Ibaratnya begini, kalau kamu makan roti tawar yang paling nyeretin, enakan mana nelennya ketika kamu celupkan dulu ke air dengan jika kamu makan langsung? Ya, enakan kalau dicelupin di air lah. Kecuali kalo airnya air aki, itu beda lagi ya gaes. Karena secara tekstur roti yang dicelupkan ke air akan menjadi lebih lunak.
Nah, puyuh juga begitu. Eh, enggak ding, kalau puyuh dicelupin ke air terus dimakan...?emmmm, bisa mampus lah kita. #abaikan
Maksudnya puyuh juga punya prinsip yang sama dengan itu. Ketika kita ingin mengolahnya secara langsung, semisal kita masak jadi opor, kita masak bumbu bali dan lain-lain, tanpa harus di bakar dulu, maka dagingnya akan lebih terasa empuk, plus gurih. Tanya kenapa?
Ya karena lemak dan kandungan air yang ada pada puyuh malah akan menjadi kaldu, menyatu dengan air yang kita gunakan untuk masak.
Indikator lain yang bisa kita gunakan adalah dengan cara berikut. Coba ambil puyuh sapitan (beli lho ya, ojo ngutil), dan juga puyuh yang belum diolah. Kemudian coba masak dengan air mendidih, maka pastinya kamu akan melihat, pada puyuh yang belum dibakar(puyuh sapitan) lebih banyak minyak-minyaknya yang mengambang.
“Tapi, apa berarti puyuh panggang sudah ditakdirkan alot begitu rupa, mas?”
Jawabannya "tidak".
Hanya untuk mendapatkan tekstur yang anti alot, empuk butuh waktu yang lama. Sebagian ada yang menggunakan cara tradisional untuk membuatnya lunak. Seperti menambahkan air kelapa atau daun nangka. Sebagian ada yang menggunakan teknik modern, yaitu memasaknya dengan presto atau dengan mencampurkan backing soda saat memasak.
Berdasarkan pengalaman saya, untuk mendapatkan teste yang enak dan empuk dalam memasak daging puyuh setidaknya membutukan proses ungkep lebih dari satu jam. Sedang kalau dipresto mungkin membutuhkan waktu sekitar ¾ jam.
“lha terus piye mas saranmu kalau aku pengen masak daging puyuh, beli yang panggang (sapitan) atau beli yang karkas?” kalau pengen enak dan nggak repot ya beli saja puyuh ungkep di saya. Tinggal goreng dan bakar aja. #eaaaa...
Menu-menu berbahan olahan puyuh yang lain bisa dilihat disini
Sekian, semoga promo ini tidak jadi ajang keributan. Hihihi...
Jika dibandingkan dengan skala produksi, lini bisnis pasca produksi aneka olahan makanan berbahan dasar puyuh masih sangat jarang sekali. Dari prosentasi peternak 1000 orang, mungkin hanya sekitar sekitar 100 orang yang kemudian mau membisniskannya. Padahal, jika produksi telur dan daging puyuh yang semakin tahun semakin banyak itu tidak diimbangi dengan penanganan pasca produksi, pada puncak siklusnya pasti akan anjlog lagi.
Pada Artikel kali ini Dunia Puyuh akan mencoba membahas salah satu kuliner yang mungkin masih jarang ditemui di tempat anda. Yaitu puyuh panggang sapitan.
But, nowaday we can not speaking about scales and grapichs (Kleleken telur puyuh perancis iki), tapi kali ini kita akan bicara seputar salah satu kuliner daging puyuh. Yup, puyuh panggang orang menyebutnya. Sebagian bangsa lain seperti bangsa wonodadian dan srengatan mengatakan sebagai puyuh sapitan. Whatever lah ya, pokok’e intine puyuh disunduk, trus dibakar tanpa bumbu. Itu...(mario tangguh #mode on).
Tempo hari ada yang bertanya:
“mas aku tuku puyuh sapitan disana, sebut saja nama penjualnya bunga(nama sampiran). Kok teko omah tak masak rasane alot ya? Dicokot malah ganti nyokot (diggit malah gigit balik). Nyapo yo?”
Baiklah, kawan-kawanku yang baik hatinya (Marione kumat maneh), ketahuilah, bahwa ketika puyuh itu dipanggang, padahal secara tekstur doi adalah puyuh afkiran, maka tingkat kealotannya tidak malah berkurang, tapi malah menjadi-jadi.
Couse what? Karena ketika dipanggang, jussy dari puyuh tersebut hilang menguap sebanding dengan panas api yang digunakan?
Ibaratnya begini, kalau kamu makan roti tawar yang paling nyeretin, enakan mana nelennya ketika kamu celupkan dulu ke air dengan jika kamu makan langsung? Ya, enakan kalau dicelupin di air lah. Kecuali kalo airnya air aki, itu beda lagi ya gaes. Karena secara tekstur roti yang dicelupkan ke air akan menjadi lebih lunak.
Nah, puyuh juga begitu. Eh, enggak ding, kalau puyuh dicelupin ke air terus dimakan...?emmmm, bisa mampus lah kita. #abaikan
Maksudnya puyuh juga punya prinsip yang sama dengan itu. Ketika kita ingin mengolahnya secara langsung, semisal kita masak jadi opor, kita masak bumbu bali dan lain-lain, tanpa harus di bakar dulu, maka dagingnya akan lebih terasa empuk, plus gurih. Tanya kenapa?
Ya karena lemak dan kandungan air yang ada pada puyuh malah akan menjadi kaldu, menyatu dengan air yang kita gunakan untuk masak.
Indikator lain yang bisa kita gunakan adalah dengan cara berikut. Coba ambil puyuh sapitan (beli lho ya, ojo ngutil), dan juga puyuh yang belum diolah. Kemudian coba masak dengan air mendidih, maka pastinya kamu akan melihat, pada puyuh yang belum dibakar(puyuh sapitan) lebih banyak minyak-minyaknya yang mengambang.
“Tapi, apa berarti puyuh panggang sudah ditakdirkan alot begitu rupa, mas?”
Jawabannya "tidak".
Hanya untuk mendapatkan tekstur yang anti alot, empuk butuh waktu yang lama. Sebagian ada yang menggunakan cara tradisional untuk membuatnya lunak. Seperti menambahkan air kelapa atau daun nangka. Sebagian ada yang menggunakan teknik modern, yaitu memasaknya dengan presto atau dengan mencampurkan backing soda saat memasak.
Berdasarkan pengalaman saya, untuk mendapatkan teste yang enak dan empuk dalam memasak daging puyuh setidaknya membutukan proses ungkep lebih dari satu jam. Sedang kalau dipresto mungkin membutuhkan waktu sekitar ¾ jam.
“lha terus piye mas saranmu kalau aku pengen masak daging puyuh, beli yang panggang (sapitan) atau beli yang karkas?” kalau pengen enak dan nggak repot ya beli saja puyuh ungkep di saya. Tinggal goreng dan bakar aja. #eaaaa...
Menu-menu berbahan olahan puyuh yang lain bisa dilihat disini
Sekian, semoga promo ini tidak jadi ajang keributan. Hihihi...
Post a Comment